Lompat ke isi utama

Berita

DEMOKRASI DALAM BINGKAI ISLAM

DEMOKRASI DALAM BINGKAI ISLAM
    \n \t
  1. Demokrasi Di Indonesia
  2. \n
\nDiakui bahwa demokrasi adalah system yang disepakati oleh warga negara untuk penyelenggaraan kehidupan berbangsa yang majemuk. Presiden dan Wakil Presiden teleh dipilih secara langsung oleh rakyat, begitu juga Gubernur dan Wakil Gubernur, Walikota dan Wakil Walikota, Bupati dan wakil bupati. Tidak ada lagi wakil rakyat, baik DPR maupun DPD yang duduk diparlemen dengan cara diangkat, semuanya dipilih secara langsung oleh rakyat. Perlu kita ketahui bahwa penyelenggaraan demokrasi tersebut menghabiskan banyak dana negara. Oleh karena itu, setiap warga negara harus dapat ikut berpartisipasi dalam pemilu yaitu menggunakan hak pilih dengan sebaik-baiknya. \n \nNamun dalam praktiknya, demokrasi ini masih ditemukan beberapa masalah seperti , money politic, politisasi sara dan adanya ujaran kebencian. Dimana semua hal tersebut adalah bentuk kejahatan yang terbukti bukan hanya menodai demokrasi, tetapi mengancam Pancasila dan NKRI. Jika money politic merusak legitimasi dalam demokrasi maka politisasi sara dan ujaran kebencian merusak kesatuan social melalui sentiment primordial yang mengoyak anyaman kebangsaan yang telah susah payah di rajut oleh para founding fathers kita. \n \nPraktik demokrasi yang menyimpang harus dilawan dan di luruskan dari ekses-ekses negative melalui literasi social dan penegakan hukum. Masyarakat perlu dilibatkan secara aktif dalam penyelenggaraan demokrasi yang sehat tanpa money politic dan sentiment primordial. Kontestasi politik dapat mengganggu kohesi sosial akibat penggunaan money politic, politisasi sara dan adanya ujaran kebencian. Dan ini semakin parah dengan massifnya penggunaan internet dan media social sebagai sarana untuk melakukan kejahatan dan merancang permusuhan bukannya menjadi fasilitas untuk menyebarkan pesan-pesan kebaikan. \n
    \n \t
  1. Hukum Golput Dalam Islam
  2. \n
\nHukum golput dalam pemilu dan pilkada tergantung bagaimana memandang hukum pemilu dan pilkada. Mereka yang mengharamkan pemilu dan pilkada tentu menjadikan golput sebagai pilihan, adapun yang membolehkan pemilihan melihatnya dengan berbagai pertimbangan.  Oleh karena pemilu dan pilkada merupakan salah satu bentuk syahadah yang diminta kepada individu untuk memilih para calon pemimpin, maka hendaknya ia memilih, apalagi ia mengetahui yang terbaik dan lebih berhak. Adapun diamnya telah membantu orang-orang yang tidak berhak menjadi pemimpin. Oleh karena itu, golput dalam kondisi seperti ini adalah meninggalkan (takhalluf) pelaksanaan wajib. Siapa yang meninggalkan kewajiban pemilu, sehingga gagal terpilih orang yang layak serta jujur dan menang besar bagi orang yang tidak layak maka ia telah melawan perintah Allah swt untuk memberikan syahadah. Sebagaimana Alla berfirman dalam Al-Baqarah ayat 283 : \n \nوَلَا تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَ ۚ وَمَنْ يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ آثِمٌ قَلْبُهُ ۗ ٌ \n \n“dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya” \n \nOleh karena itu, demi terciptanya maslahat bagi umat, wajib bagi warga negara untuk berpartisipasi dalam pemilu maupun pilkada demi terpilihnya pemimpin yang kuat dan jujur. Golput dalam pemilu dan pilkada perlu di minimalisir dengan memahami akar permasalahan yang menjadi penyebabnya. Jika golput disebabkan kurangnya sosialisasi  yang dilakukan pihak penyelenggara dan pemberian pendidikan politik oleh para elit poliltik yang memiliki kepentingan, maka diperlukan langkah bijak dari para elit politik maupun dari penyelenggara pemilu untuk terus melakukan sosialisasi pendidikan politik kepada masyakarat. Peninggkatan jumlah golput jenis ini dalam pemilu dan pilkada  sebaiknya dapat menjadi bahan interospeksi bagi penyelenggara dan elit politik untuk bisa memperbaiki setiap tahapan dalam pemilihan mulai pendataan pemilih hingga sosialisasi. \n \nAdapun golput yang lain yaitu disebabkan karena factor malas atau tingkat kesibukan dalam beraktifitas, golput merasa calon pemimpin yang ada, dianggap kurang kredibel, golput jika karena tidak ada yang bayar atau mencoblos karena membela yang bayar, golput karena calon yang ada mengobral janji muluk-muluk yang tidak mungkin direalisasikan maka tingkat kesadaran akan tanggung jawab kebangsaan dan kenegaraan perlu diberikan. Kelompok-kelompok seperti ini adalah kelompok a-politis yang perlu disadarkan. Pemikiran-pemikiran seperti ini akan merugikan pemilih itu sendiri, karena dengan golput akan terpilih calon pemimpin yang tidak diinginkan. \n \nOleh karena itu, sangat penting menggunakan hak pilih kita pada setiap pemilihan untuk memilih pemimpin dan wakil rakyat. Yakni, pemimpin yang beriman dan bertakwa, jujur (siddiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunyai kemampuan (fathonah) dan memperjuangkan kepentingan ummat. \n
    \n \t
  1. Money Politic
  2. \n
\nKerawanan pemilu sering terjadi karena menyangkut prinsip kejujuran, yakni bahwa seseorang semestinya memilih pemimpin atas dasar keyakinan hati nuraninya, dengan rasa tangung jawab kepada masyarakat dan sekaligus kepada tuhannya. Prinsip ini sering kali dirusak oleh salah satu dari dua hal yaitu pertama, pemilih tidak tahu atau kurang mengenal rekam jejak pribadi yang akan dipilihnya, baik kualitas kepemimpinannya, integritas moralnya, pengetahuan dan wawasannya. Dalam kondisi seperti inilah seseorang akan memilih secara serampangan, ikut-ikutan atau bahkan tidak menggunakan hak pilihnya sama sekali. Kedua, seseorang memilih pemimpinnya lebih karena imbalan materi yang diterimanya atau di janjikannya yang dikenal dengan sebuatan money politic. \n \nDari sudut pandang islam, persoalan pertama tentu sangat disayangkan, namun persoalan yang kedua yaitu memilih karena imbalan materi, tentu saja sangat ditentang. Money politics sebagai pemberian berupa uang atau materi untuk mempengaruhi dan atau menyelewengkan keputusan yang adil dan obyektif, dalam syariat islam hal itu dikategorikan sebagai risywah (suap) yang dilaknat oleh Allah swt. Sebagaimana Rasulullah saw pernah bersabda : \n \nAllah melaknat orang yang memberi suap dan menerima suap (HR. Abu Dawud) \n \nMengapa dikategorikan risywah ? sebab pengertian risywah adalah harta yang diberikan oleh seseorang kepada hakim atau pihak lain dengan tujuan memberikan keputusan yang dapat menguntungkannya atau memutuskan hukum sesuai dengan keinginannya. \n \nMengenai money politic, MUI pada tahun 2000 juga telah mengeluarkan fatwa yang diantaranya menyebutkan : \n
    \n \t
  1. Memberikan Risywah (pemberian seseorang kepada orang lain dengan maksud meluluskan suatu perbuatan yang bathil atau membatalkan perbuatan yang hak: pemberi disebut rasyi, penerima disebut murtasyi dan perantara disebut ra’syi hukumnya adalah haram.
  2. \n \t
  3. Melakukan korupsi (tindakan pengambilan sesuatu yang ada dibawah kekuasaannya dengan cara yang tidak benar menurut syariat islam) hukumnya adalah haram.
  4. \n
\nHal ini didasarkan pada Firman Allah swt dalam surat An-Nisa ayat 29 : \n \n“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” \n
    \n \t
  1. Politisasi Sara
  2. \n
\nIstilah SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan) sudah lama dikenal masyarakat. Namun masih banyak warga masyarakat yang belum mengenal SARA, sehingga banyak orang berbicara didepan umum yang menyinggung SARA sehingga menimbulkan persoalan. \n \nSARA dalam arti yang netral yaitu apabila seseorang berbicara tentang suku, agama, ras dan antar golongan tanpa menyebut segi positifnya atau negatifnya. Politisasi SARA tidak dimaksudkan sekedar menyebutkan atau melibatkan isu agama, ras dan antar golongan dalam sebuah diskusi atau pembicaraan. SARA terjadi ketika isu agama, ras dan antar golongan itu dijadikan alat untuk menyerang, menjelekkan, menghina, merendahkan dan yang semakna. Politisasi SARA merupakan isu yang sensitive dan rentan menyebabkan perpecahan dan permusuhan. Penggunaan isu SARA untuk tujuan jangka pendek guna memenangkan calon tertentu jelas sekali merusak keragaman dan harmoni social yang selama ini sudah berjalan dengan baik di Indonesia. Fenomena politisasi SARA dalam PEMILU maupun PEMILIHAN kepala daerah semakin marak terjadi di daerah yang terjadi pemilihan. Namun, banyak juga kasus politisasi SARA tiak terekspos karena daerah-daerah yang jauh dari jangkuan media atau yang isunya kurang seksi untuk di publikasikan. Dengan tidak adanya pengawasan publik, tentu saja politisasi \n \nSARA ini berjalan dengan baik untuk meraih kemenangan. Tak heran, kualitas kepemimpinan di sebagian besar daerah di Indonesia kurang baik. \n \nIslam melarang keras menjelekkan, menghina dan merendahkan pihak/kelompok lain berdasarkan SARA. Karena perbedaan suku, ras, budaya dan semisal tidak boleh menjadi alasan untuk mendiskriminasi orang lain. Keanekaragaman kultur seperti itu adalah salah satu tanda kebesaran Allah SWT. \n \n“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.” (QS. Rum [30]: 22) \n \nJuga, perbedaaan agama atau keyakinan tidak boleh dijadikan alasan untuk mendiskriminasi seseorang. karena persoalan agama dan keyakinan adalah persoalan hidayah. Sebagaimana dipertegas dalam quran surah Al-Mumtahanah ayat 8. \n \nAllah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (QS. Mumtahanan [60]: 8) \n
    \n \t
  1. Ujaran Kebencian
  2. \n
\nUjaran kebencian atau yang dikenal dengan “hate speech” merupakan salah satu hal negative yang harus dilawan dalam pesta demokrasi. Sebagian ahli berpendapat bahwa ujaran kebencian dalam Bahasa Indonesia lebih mempresentasikan arti kata “hate speech” dalam Bahasa inggris. Secara Bahasa kata “hate”sendiri bermakna “benci”, sedangkan “speech” bisa berarti ujaran, pidato dan syiar. Mengacu pada makna itu, maka ujaran kebencian mengandung dua unsur yaitu pertama, benci yang berbasis pada intoleransi atau permusuhan pada individu atau kelompok. Kedua, ujaran sebagai ekspresi menyatakan pendapat melalui berbagai bentuk yang disebarkan melalui berbagai media seperti internet, televisi, media cetak dan lain-lain. Dari dua unsur itu, bisa dikatakan bahwa ujaran kebencian merupakan ekspresi kebencian yang diskriminatif terhadap orang lain. \n \nUjaran kebencian adalah perilaku yang tidak mencerminkan ahlakul karimah karena perbuatan ini menyerang kehormatan pribadi dan golongan yang dilindungi agama. Bahkan ujaran kebencian adalah perbuatan yang mencerminkan ahlakul madzmumah (ahlak tercela) yang dilarang oleh agama islam. Didalam Islam, seorang muslim diperintahkan untuk bertutur kata yang baik, menjaga lisan dan tidak merendahkan orang lain sebagai cerminan dari ahlakul karimah (ahlak yang terpuji). \n \nSecara lebih khusus, didalam ajaran Islam ujaran kebencian masuk dalam kategori ghibah. Dimana ghibah merupakan perbuatan dosa besar yang bahkan Allah menyamakan orang yang melakukan ghibah dengan orang yang memakan bangkai saudaranya, sebagaimana dipertegas dalam Al Quran : \n \nHai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. (QS. Al Hujurat :12) \n \nTidak bisa dipungkiri juga ujaran kebencian juga mengandung unsur merendahkan yang dalam Bahasa fikih islam dikenal dengan istilah sukhriyyah, istihza. Sebagaimana Allah berfirman : \n \nHai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (QS. Al Hujurat :11) \n \nDengan demikian tidak ada argument untuk membenarkan ujaran kebencian. Itu adalah tindakan criminal, maka dari itu pelaku ujaran kebencian harus dihukum dengan hukuman yang menjerakan. Dalam hal ini, pemerintah bisa membuat sanksi-sanksi hukum bagi pelaku kejahatan ujaran kebencian, artinya ujaran kebencian dimasukan dalam jarimah ta’zir yang sanksi hukumnya ditentukan oleh negara. \n \nPenulis : Dian Antarja, S.HI (Kordiv. Pengawasan, Humas dan Hubal Bawaslu Kota Tarakan)